Pupa Pada Manusia

Di ujung hari yang melelahkan. Sekelompok muda-mudi abu-abu putih, siapkan diri untuk melangkah lebih jauh. Mulai mempersiapkan diri untuk bangun dari dunia mimpi yang penuh histori, fantasi, dan teka-teki. Sejauh yang mereka tahu, bahagia dan berbagi adalah yang luar biasa menyenangkan. Kadang juga diwarnai dengan pahitnya pertengkaran karena berbagai alasan yang mereka ingin kala itu, hanya tersenyum menatap dunia. Tanpa tersadar kawan yang memjadi mitra hakikatnya adalah pesaing, pemicunya adalah rasa persahabatan. Ya, persahabatan merupakan jalinan yang kuat, yang sulit membaca apa itu persaingan, dan sukar memahami apa itu perpisahan. Mungkin ini yang lazim dirasakan oleh mereka. Tak dapat dipungkiri, persahabatan muncul karena interaksi, yaitu proses awal memberi kesan pada orang lain. Di sinilah rasa percaya dan rasa mengasihi terjalin dalam diri manusia.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa anak abu-abu putih sulit menerima adanya perpisahan, bila mengingat masa-masa di dalam kelas, goresan cerita di depan gerbang sekolah, di kantin, di perpustakaan, di lab atau mungkin di kamar mandi sekolah. Pada kenyataanyd dunia nyata dan perjuangan yang sesungguhnya telah menanti mereka di luar sana. Harapan baru terbuka luas.

Kembali pada tujuan. Mencapai kata "LULUS" merupakan tujuan utamj sekalipun harus ditempuh dengan berbagai kesulitan yang membosankan, seperti masa orientasi, mengikuti pelajaran yang membosankan selama 3 tahun, ujian, dan kesulitan lain yang harus mengorbankan waktu, tenaga dan uang. Ketika tujuan telah tercapai mereka harus merelakan persahabatan, kenangan, dan pertemuan. Kadang ada pula yang enggan bangun dari tidur panjangnya. Tapi setuju ataupun tidak, semua harus mengalami ini dengan maksud dan tujuan yang berbeda yaitu MEWUJUDKAN MIMPI.


Tapi setuju atau tidak, semua harus mengalami ini dengan maksud dan tujuan yang berbeda yaitu mewujudkan mimpi yang dibangun sekian lama. Setelah masa abu-abu putih berlalu, semua harus dapat menentukan arah sendiri kemana akan melangkah. Tak lagi belajar mengenai materi pelajaran tapi mulai belajar untuk teguh dala pendirian, berjalan lurus di atas prinsip, sekalipun dihimpit dengan beribu bahkan berjuta keraguan. Mulai untuk kritis pada keadaan yang mulai tak sesuai dengan yang seharusnya. Selain itu, pelajaran dalam hidup yang sesungguhnya adalah mencari tahu apa yang penting dan apa yang paling penting dalam menjalani kehidupan, menyadarkan diri sendiri tentang apa itu rasa aman dan apa itu bahaya yang mengancam.

Fase abu-abu putih adalah fase simulasi terhadap idividu sebagai pondasi dan bekal anak negri untuk menjalani kerasnya hidup. Menjadi jembatan untuk melihat gambaran asa dan hidup di masa yang akan datang. Membuka jalan yang selebar-lebarnya guna mempermudah menyusun strategi sosial masyarakat. Masa ini memang memberi bekas teramat dalam pada diri seseorang yang menjalaninya. Simulasi yang diterapkan memberi corak dan warna yang berbeda-beda. Di sini dapat dijabarkan, mendengar dan melihat materi pelajaran merupakan simulasi melatih kesabaran dan ketelatenan. Ulangan harian, merupakam simulasi uji kefahaman dan pengertian. Piket adalah simulasi dari pengembangan tanggung jawab. Diskusi merupakan simulasi dari solidaritas, kerjasama dan berpendapat. Kerja kelompok adalah simulasi dari kekompakan dan arti pertemanan. UN, merupakan simulasi dari persaingan yang ketat. Uraian itu seolah menggambarkan hal-hal yang harus dihadapi oleh setiap orang pada akhirnya. Yang menjadi ciri berbeda dari simulasi dan reality terletak di berbagai hal antaranya, simulasi berujung pada nilai akademik, sementara reality adalah penilaian di dalam bermasyarakat . 


Di sini setiap orang dituntut untuk dapat berdampingan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Tidak hanya itu saja, setiap orang harus dapat menyamakan visi dan misinya dengan orang lain. Ciri lainnya adalah ketika seseorang mendapat prestise, dalam simulasi hanyalah terukur dari angka dan nilai, sementara reality tolak ukur prestise seseorang adalah kepribadian, kesan dan strata.

Memang lebih mudah dan menyenangkan hidup dalam simulasi. Kesabaran seolah dimulai dari jam 07.00 pagi hingga 14.00 siang. Kekompakan dan solidaritas dalam lingkup yang kecil membuat semua lebih menyenangkan, karena semua memiliki tujuan dan bervisi misi yang sama, ditambah lagi dengan usia dan pola fikir yang sama. Memiliki tanggung jawab yang kecil dan persaingan yang seolah terjadi hanya sekali. Tapi mau ataupun tidak, pada akhirnya semua harus menjalani kehidupan yang sesungguhnya.  


Bersaing setiap hari, harus terus berinovasi demi berbagai kebutuhan hidup. Kesulitan hidup di masyarakat tergambar jelas saat ini, tapi fakta yang ada di luar, banyak orang lebih menikmati hidup di luar garis abu-abu putih. Entah mana yang paling benar, pada waktunya semua akan menjalaninya. Mengukir prestasi tak cukup bila hanya simulasi, karena tidak mungkin bila semua orang berharap pada sekedar fantasi atau mimpi-mimpi besar, tapi semua orang pasti berfikir bagaimana mewujudkan mimpi dalam sebuah harapan yang pasti karena tolak ukur manusia bukan seberapa besar mimpi itu dibangun dan seberapa besar mimpi itu dimiliki, tapi seberapa besar usaha seseorang mewujudkan mimpi itu. Tidak mungkim pula, seseorang bertahan hidup diantara banyak teka-teki yang membingungkan, tapi pastilah seseorang akan mencari jawaban dari misteri teka-teki itu. Jalan terbaik adalah menikmati dan melakukan yang terbaik dalam simulasi ataupun dalam reality. Sekalipun hasil dari simulasi tidak begitu mempengaruhi keberuntungan tapi paling tidak dapat menjadi nafigator yang jelas bagaimana bila simulasi benar terjadi dalam reality.

Cukup melelahkan bila berkenaan dengan simulasi atau reality. Pada intinya semua orang harus yakin dan percaya. Menjalani hidup dengan menikmatinya adalah cara yang paling mudah.

Oleh: Nikmah Enzhdi II 

https://www.facebook.com/nikmah.enzhdiii

 

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung, Silahkan mencoretkan komentar atau kritik , saran kamu yaaa...

Makasiiiihhhh ^_^